KATABOLISME HEME
Katabolisme heme
Dalam keadaan fisiologis, masa hidup erytrosit manusia sekitar 120 hari,
eritrosit mengalami lisis 1-2×10
8
setiap jamnya pada seorang dewasa dengan berat
badan 70 kg, dimana diperhitungkan hemoglobin yang turut lisis sekitar 6 gr per
hari. Sel-sel eritrosit tua dikeluarkan dari sirkulasi dan dihancurkan oleh limpa.
Apoprotein dari hemoglobin dihidrolisis menjadi komponen asam-asam aminonya.
Katabolisme heme dari semua hemeprotein terjadi dalam fraksi mikrosom sel
retikuloendotel oleh sistem enzym yang kompleks yaitu heme oksigenase yang merupakan enzym dari keluarga besar sitokrom P450. Langkah awal pemecahan
gugus heme ialah pemutusan jembatan α metena membentuk biliverdin, suatu
tetrapirol linier. Besi mengalami beberapa kali reaksi reduksi dan oksidasi, reaksireaksi ini memerlukan oksigen dan NADPH. Pada akhir reaksi dibebaskan Fe
3+
yang
dapat digunakan kembali, karbon monoksida yang berasal dari atom karbon
jembatan metena dan biliverdin. Biliverdin, suatu pigmen berwarna hijau akan
direduksi oleh biliverdin reduktase yang menggunakan NADPH sehingga rantai
metenil menjadi rantai metilen antara cincin pirol III – IV dan membentuk pigmen
berwarna kuning yaitu bilirubin. Perubahan warna pada memar merupakan petunjuk
reaksi degradasi ini.
Bilirubin bersifat lebih sukar larut dalam air dibandingkan dengan biliverdin.
Pada reptil, amfibi dan unggas hasil akhir metabolisme heme ialah biliverdin dan
bukan bilirubin seperti pada mamalia. Keuntungannya adalah ternyata bilirubin
merupakan suatu anti oksidan yang sangat efektif, sedangkan biliverdin tidak.
Efektivitas bilirubin yang terikat pada albumin kira-kira 1/10 kali dibandingkan asam
askorbat dalam perlindungan terhadap peroksida yang larut dalam air. Lebih
bermakna lagi, bilirubin merupakan anti oksidan yang kuat dalam membran,
bersaing dengan vitamin E.
Bilirubin dirubah menjadi bentuk larut
Dalam setiap 1 gr hemoglobin yang lisis akan membentuk 35 mg bilirubin.
Perhari bilirubin dibentuk sekitar 250–350 mg pada seorang dewasa, berasal dari
pemecahan hemoglobin, proses erytropoetik yang tidak efekif dan pemecahan
hemprotein lainnya. Bilirubin dari jaringan retikuloendotel adalah bentuk yang sedikit
larut dalam plasma dan air. Bilirubin ini akan diikat nonkovalen dan diangkut oleh
albumin ke hepar. Dalam 100 ml plasma hanya lebih kurang 25 mg bilirubin yang
dapat diikat kuat pada albumin. Bilirubin yang melebihi jumlah ini hanya terikat
longgar hingga mudah lepas dan berdiffusi kejaringan.
Bilirubin yang sampai dihati akan dilepas dari albumin dan diambil pada
permukaan sinusoid hepatosit oleh suatu protein pembawa yaitu ligandin. Sistem
transport difasilitasi ini mempunyai kapasitas yang sangat besar tetapi penggambilan
bilirubin akan tergantung pada kelancaran proses yang akan dilewati bilirubin
berikutnya.
Bilirubin nonpolar akan menetap dalam sel jika tidak diubah menjadi bentuk
larut. Hepatosit akan mengubah bilirubin menjadi bentuk larut yang dapat
diekskresikan dengan mudah kedalam kandung empedu. Proses perubahan tersebut
melibatkan asam glukoronat yang dikonjugasikan dengan bilirubin, dikatalisis oleh
enzym bilirubin glukoronosiltransferase. Hati mengandung sedikitnya dua isoform
enzym glukoronosiltransferase yang terdapat terutama pada retikulum endoplasma.
Reaksi konjugasi ini berlangsung dua tahap, memerlukan UDP asam glukoronat
sebagai donor glukoronat. Tahap pertama akan membentuk bilirubin
monoglukoronida sebagai senyawa antara yang kemudian dikonversi menjadi
bilirubin diglukoronida yang larut pada tahap kedua.
Ekskresi bilirubin larut kedalam saluran dan kandung empedu berlangsung
dengan mekanisme transport aktif yang melawan gradien konsentrasi. Dalam
keadaan fisiologis, seluruh bilirubin yang diekskresikan ke kandung empedu berada
dalam bentuk terkonjugasi.
Pembentukan urobilin
Bilirubin terkonjugasi yang mencapai ileum terminal dan kolon dihidrolisa oleh
enzym bakteri β glukoronidase dan pigmen yang bebas dari glukoronida direduksi
oleh bakteri usus menjadi urobilinogen, suatu senyawa tetrapirol tak berwarna.Sejumlah urobilinogen diabsorbsi kembali dari usus ke perdarahan portal dan dibawa
keginjal kemudian dioksidasi menjadi urobilin yang memberi warna kuning pada
urine. Sebagian besar urobilinogen berada pada feces akan dioksidasi oleh bakteri
usus membentuk sterkobilin yang berwarna kuning kecoklatan.
Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia adalah keadaan dimana konsentrasi bilirubin darah
melebihi 1 mg/dl. Pada konsentrasi lebih dari 2 mg/dl, hiperbilirubinemia akan
menyebabkan gejala ikterik atau jaundice. Ikterik atau jaundice adalah keadaan
dimana jaringan terutama kulit dan sklera mata menjadi kuning akibat deposisi
bilirubin yang berdiffusi dari konsentrasinya yang tinggi didalam darah.
Hiperbilirubinemia dikelompokkan dalam dua bentuk berdasarkan
penyebabnya yaitu hiperbilirubinemia retensi yang disebabkan oleh produksi yang
berlebih dan hiperbilirubinemia regurgitasi yang disebabkan refluks bilirubin kedalam
darah karena adanya obstruksi bilier.
Hiperbilirubinemia retensi dapat terjadi pada kasus-kasus haemolisis berat
dan gangguan konjugasi. Hati mempunyai kapasitas mengkonjugasikan dan
mengekskresikan lebih dari 3000 mg bilirubin perharinya sedangkan produksi normal
bilirubin hanya 300 mg perhari. Hal ini menunjukkan kapasitas hati yang sangat
besar dimana bila pemecahan heme meningkat, hati masih akan mampu
meningkatkan konjugasi dan ekskresi bilirubin larut. Akan tetapi lisisnya eritrosit
secara massive misalnya pada kasus sickle cell anemia ataupun malaria akan
menyebabkan produksi bilirubin lebih cepat dari kemampuan hati mengkonjugasinya
sehingga akan terdapat peningkatan bilirubin tak larut didalam darah. Peninggian
kadar bilirubin tak larut dalam darah tidak terdeteksi didalam urine sehingga disebut
juga dengan ikterik acholuria.
Pada neonatus terutama yang lahir premature peningkatan bilirubin tak larut
terjadi biasanya fisiologis dan sementara, dikarenakan haemolisis cepat dalam
proses penggantian hemoglobin fetal ke hemoglobin dewasa dan juga oleh karena
hepar belum matur, dimana aktivitas glukoronosiltransferase masih rendah. Apabila
peningkatan bilirubin tak larut ini melampaui kemampuan albumin mengikat kuat,
bilirubin akan berdiffusi ke basal ganglia pada otak dan menyebabkan ensephalopaty
toksik yang disebut sebagai kern ikterus.
Beberapa kelainan penyebab hiperbilirubinemia retensi diantaranya seperti
Syndroma Crigler Najjar I yang merupakan gangguan konjugasi karena glukoronil
transferase tidak aktif, diturunkan secara autosomal resesif, merupakan kasus yang
jarang, dimana didapati konsentrasi bilirubin mencapai lebih dari 20 mg/dl.
Syndroma Crigler Najjar II, merupakan kasus yang lebih ringan dari tipe I,
karena kerusakan pada isoform glukoronil transferase II, didapati bilirubin
monoglukoronida terdapat dalam getah empedu.
Syndroma Gilbert, terjadi karena haemolisis bersama dengan penurunan
uptake bilirubin oleh hepatosit dan penurunan aktivitas enzym konjugasi dan
diturunkan secara autosomal dominan.
Hiperbilirubinemia regurgitasi paling sering terjadi karena terdapatnya
obstruksi pada saluran empedu, misalnya karena tumor, batu, proses peradangan
dan sikatrik. Sumbatan pada duktus hepatikus dan duktus koledokus akan
menghalangi masuknya bilirubin keusus dan peninggian konsentrasinya pada hati
menyebabkan refluks bilirubin larut ke vena hepatika dan pembuluh limfe.
Bentuknya yang larut menyebabkan bilirubin ini dapat terdeteksi dalam urine dan
disebut sebagai ikterik choluria. Karena terjadinya akibat sumbatan pada saluran
empedu disebut juga sebagai ikterus kolestatik. Bilirubin terkonjugasi dapat terikat
secara kovalen pada albumin dan membentuk θ bilirubin yang memiliki waktu paruh
©2004 Digitized by USU digital library 6
(T
1/2
) yang panjang mengakibatkan gejala ikterik dapat berlangsung lebih lama dan
masih dijumpai pada masa pemulihan.
Beberapa kelainan lain yang menyebabkan hiperbilirubinemia regurgitasi
adalah Syndroma Dubin Johnson, diturunkan secara autosomal resesif, terjadi
karena adanya defek pada sekresi bilirubin terkonjugasi dan estrogen ke sistem
empedu yang penyebab pastinya belum diketahui.
Syndroma Rotor, terjadi karena adanya defek pada transport anion an
organik termasuk bilirubin, dengan gambaran histologi hati normal, penyebab
pastinya juga belum dapat diketahui.
Hiperbilirubinemia toksik adalah gangguan fungsi hati karena toksin seperti
chloroform, arsfenamin, asetaminofen, carbon tetrachlorida, virus, jamur dan juga
akibat cirhosis. Kelainan ini sering terjadi bersama dengan terdapatnya obstruksi.
Gangguan konjugasi muncul besama dengan gangguan ekskresi bilirubin dan
menyebabkan peningkatan kedua jenis bilirubin baik yang larut maupun yang tidak
larut.
Terapi phenobarbital dapat menginduksi proses konjugasi dan ekskresi
bilirubin dan menjadi preparat yang menolong pada kasus ikterik neonatus tapi tidak
pada sindroma Crigler najjar. Phototerapi dengan cahaya dapat merubah bilirubin
menjadi lebih polar dan merubahnya menjadi beberapa isomer yang larut dalam air
meskipun tampa konjugasi dengan asam glukoronida sehingga dapat diekskresikan
keempedu. Kasus obstruksi umumnya ditangani dengan tindakan bedah.
Langganan:
Postingan (Atom)